Senin, 07 Januari 2013

Hujan buatan dan dampaknya terhadap pertanian


Dampak kemarau tahun ini sudah banyak kita rasakan, seperti kekeringan areal pertanian, kebakaran hutan dan di perkotaan, turunnya kabut dingin di beberapa perkebunan Jabar dan Jateng, serta menurunnya permukaan air waduk yang merupakan pemasok utama kelistrikan di Jawa.

Di lain pihak dengan turunnya hujan secara sporadis di beberapa tempat di tengah-tengah kemarau, rupanya kembali mengundang debat pro dan kontra para pakar meteorologi tentang musim kemarau tahun ini, apakah memang dampak El Nino Osilasi Selatan (ENSO = El Nino Southern Oscillation) atau kemarau biasa yang biasa datang setiap tahun.

Yang jelas kemarau tahun kekeringan sangat dipengaruhi oleh tersedotnya uap air di atas perairan Indonesia ke daerah Asia Selatan dan Cina, yang sejak April lalu sampai bulan ini mengalami siklon dan kebanjiran karena curah hujan setempat jauh di atas normal untuk bulan-bulan itu. 

Terlepas dari itu BPPT yang sejak beberapa tahun terakhir terus mengembangkan teknologi hujan buatan di Indonesia, sudah mulai dengan studi awal hujan buatan ini dalam usaha memasok air dengan hujan buatan untuk daerah Bandung dan DAS Citarum guna meningkatkan volume air atau permukaan air dari tiga waduk di Citarum yaitu : Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang airnya sudah kritis. 

Istilah hujan buatan itu sendiri sesungguhnya kurang tepat. Kegiatan ini sebenarnya hanyalah merupakan usaha perangsangan awan untuk menjadi titik-titik air yang memenuhi syarat untuk jatuh ke bumi sebagai hujan. Karenanya yang menjadi pokok pada hujan buatan ini adalah sudah adanya awan di tempat di mana hujan buatan akan dibuat. 

Pada musim kemarau yang kering dan panas seperti ini, seringkali awan tidak dapat mendatangkan hujan karena tidak terpenuhinya syarat fisis bagi awan untuk menjadi hujan. Seperti bantat-nya awan yang tidak dapat menjadi titik air karena setiap pengembunan akan menguap dan buyar kembali. Atau titik air yang terbentuk tidak memenuhi syarat turun secara gravitasional sebagai hujan ke bumi. 

Dalam mengatasi hal ini maka sangat dibutuhkan rangsangan terhadap awan untuk menjadi hujan (buatan) sehingga proses dari awan, pengembunan, difusi, dari titik air dan hujan dapat terjadi. 

Proses perangsangan awan inilah merupakan inti kegiatan pada pembuatan hujan ini. 


Syarat meteorologis 

Kegiatan perangsangan awan tidak semudah seperti disebutkan di atas, karena di samping harus adanya awan pada proses hujan buatan maka lingkungan awan itu pun harus memenuhi persyaratan meteorologis yang memungkinkan proses fisis pada awan dapat terjadi. Sehingga kondisi ini mengharuskan adanya rangkaian kegiatan yang mendahului pembuatan hujan ini seperti yang sedang disiapkan BPPT, yaitu studi awal terhadap parameter atmosfer setempat saat ini. 

Persyaratan meteorologis untuk dapat dilakukannya kegiatan hujan buatan itu antara lain : adanya udara yang mengandung uap air yang cukup, adanya profil lapisan udara yang labil, adanya lapisan kecepatan angin pada daerah objek hujan buatan itu. Karena kondisi-kondisi ini yang dapat memungkinkan terbentuknya awan dan membantu proses penaburan garam untuk inti kondensasi. 

Kandungan uap air di udara, sering dinyatakan dengan angka kelembaban nisbi udara. Semakin tinggi kelembaban nisbi (RH = Relative Humidity) ini maka semakin tinggi kandungan uap airnya. 

Secara teoritis uap air akan mulai mengembun pada RH = 100 persen. RH ini merupakan angka rasio antara tekanan uap air di udara dengan tekanan uap air maksimum yang dapat terjadi pada udara tersebut pada suhu yang sama. 

Tidak jarang pada kondisi kemarau seperti ini uap air atau awan akan berkondensasi atau mengembun pada RH di atas 100 persen. 

Menurut hasil penelitian Wilson pada air murni tanpa adanya inti kondensasi uap air umumnya mengembun pada RH antara 300-400 persen. Sehingga dikatakan inti kondensasi sangat berperan dalam proses pengembunan. 

Di udara yang menjadi inti kondensasi utama adalah garam-garaman yang bersifat higroskopik, produk dari hasil pembakaran, terutama garam dapur (NaCl). 

Di udara kadar garam dapur ini kurang lebih 10 gram per meter kubik udara. Setelah pengembunan dilanjutkan dengan proses difusi dari titik-titik air untuk membentuk butiran yang lebih besar, namun di musim kemarau seperti ini prosesnya berlangsung lambat sekali. 

Butiran yang terbentuk jejarinya juga sangat ditentukan oleh kelembaban udara saat itu. 

Dalam mengatasi ketidaknormalan yang ada pada proses fisis awan menjadi hujan ini, maka dilakukanlah penaburan berbagai garam kimia ke udara dalam proses hujan buatan ini, yang semuanya bertujuan untuk merangsang awan untuk mengembun, membentuk butiran air yang memenuhi syarat untuk jatuh sebagai hujan (buatan) ke daerah yang menjadi objek penyiraman. 

Jenis dan fungsi 

Jenis garam yang biasa ditabur dengan fungsinya masing-masing antara lain : garam dapur, Calsium dichloride, Urea, Carbondioksida padat dan aerosol. 

Garam dapur yang ditaburkan ke awan berbentuk bubuk tepung, berfungsi sebagai alat yang memadatkan awan bersifat higroskopik dan sebagai inti kondensasi. 

Calsium dichloride yang ditabur juga berbentuk tepung sebagai pengumpul awan. Sifat garam ini higroskopik, endodermik dalam lingkungan air. 

Urea dalam bentuk larutan akan berfungsi sebagai pendingin awan serta menjatuhkannya dan bersifat menghisap panas dari lingkungannya. 

Carbon dioksida (CO2) padat atau sering disebut es kering, ditaburkan dengan fungsi sebagai penahan suhu garam agar tetap konstan, di samping juga sebagai pendingin awan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah aerosol yang berfungsi sebagai pencegah penggumpalan awan. 

Semua garam-garam itu, ditaburkan dalam komposisi yang tepat dan serasi, karena kesalahan dalam komposisi akan berakibat fatal. 

Sebagai contoh, kesalahan pada komposisi es kering yang kebanyakan, justru akan membuyarkan awan yang sudah ada. 

Namun di balik keberhasilan BPPT dalam menerapkan teknologi hujan buatan di Indonesia yang masih agraris ini (ingat selain sebagai PLTA, waduk di Indonesia juga sebagai pemasok utama air pertanian), sudah pasti komposisi air hujan (buatan) yang turun akan mengandung garam-garam tersebut di atas. 

Sehingga sejalan dengan penerapan teknologi hujan buatan sudah sepantasnyalah bila dilakukan juga penelitian dampak garam tersebut terhadap tanaman pertanian yang akan memanfaatkan airnya. Sehingga di samping menyelamatkan keadaan kritis air waduk untuk PLTA, air hujan buatan ini juga tidak berdampak negatif terhadap petani. 


Dimuat di harian Bisnis Indonesia, edisi Minggu tanggal 11 Agustus 1991.

referensi :
http://putupudja.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar